Pukul Setengah Lima: Buku Kaya yang Miskin

Senja Tarum
5 min readMay 12, 2024

--

Pukul Setengah Lima (Rintik Sedu)

Tahun lalu — 2023 tepatnya — aku kedatangan buku ini di rak buku. Berhubung suka puisi-puisi kecil dan podcast Rintik Sedu, aku membeli buku ini dengan harga Rp89.000 melalui Shopee Gramedia Official. Demi mendapatkan tanda tangan Rintik Sedu dan bonus card holder, aku rela bertarung dengan ratusan ribu jempol para teri — sebutan penggemar Rintik Sedu — mengikuti masa pre-order.

Berhubung sudah menyelesaikan buku ini, izinkan aku mengulasnya sedikit. Pertama-tama, mari kita lihat ke cover buku ini. Salah satu bagian penting dari buku adalah judul. Judul Pukul Setengah Lima tentu menarik bagi pembacanya. Ditambah cover bergambar bus yang memunculkan pertanyaan, apa hubungannya dengan judul? Bukankah seharusnya di situ tersaji gambar jam? Atau gambar lain yang berhubungan erat dengan waktu? Dari sini Pukul Setengah Lima sudah berhasil membuat penasaran siapa pun yang melihatnya. Setelah meraih buku ini karena penasaran, orang akan membaliknya dan melihat bagian belakang. Kita bisa melihat sinopsis mini yang menggugah hati. Serangkaian konflik yang kedengaran seru ditulis di bagian belakang buku ini. Kesimpulannya, bagian luar — sebut saja fisik — buku ini sangat cantik.

Sinopsis Pukul Setengah Lima

Lalu bagaimana isinya? Begini… Apa yang akan aku tulis mungkin sedikit mengandung spoiler, jadi harap siapkan hati ya. Buku ini menggunakan sudut pandang orang pertama, Alina sebagai tokoh utama. Buku ini mengadopsi alur maju mundur yang secara singkatnya kita melamun bersama Alina. Dan lamunan itu hanya soal Tio — mantan Alina. Pokoknya, hampir semua kemunduran alur ditandai dengan “Aku jadi ingat Tio…”. Aku pikir ini membosankan sekali karena cerita dengan Tio sejak awal membaca juga sudah tertebak ujungnya bagaimana. Alurnya rapi, tetapi tidak seru.

Kisah yang menarik dan memaksa aku menyelesaikan buku ini adalah kisah Alina dengan Danu. Lelaki yang seharusnya jatuh hati kepada Marni — jati diri palsu Alina. Kenapa kubilang seharusnya? Karena dalam sinopsis memang seperti itu, tetapi setelah menyelesaikan buku ini justru aku mempertanyakan kembali jatuh hatinya si Danu ini. Kalian perlu membaca untuk tahu seberapa marahnya aku kepada Rintik Sedu dalam mengakhiri cerita Alina-Danu.

Kemarahanku tidak cuma karena itu. Aku juga marah dengan cara Rintik Sedu membawakan karakter Alina. Awal cerita, Alina diperkenalkan kepada pembaca sebagai karakter yang kacau. Di akhir cerita ia tetap kacau. Aku belum pernah membaca novel dengan karakter yang sangat tidak berkembang seperti ini. Iya, tidak ada perkembangan karakter hingga awal sampai akhir. Baiklah, manusia memang tidak secepat itu berubah atau lebih tepatnya kita masing-masing punya waktu sendiri untuk “berubah”, tetapi ini novel. Apa yang diharapkan pembaca pada tokoh dalam sebuah novel? Perkembangan… Perubahan… Sayangnya Alina tidak mendapatkan semua itu.

Alina anak broken home, sampai akhir juga begitu. Alina tidak peka, tidak perasa, tidak banyak bicara, sampai akhir juga begitu. Alina tidak dekat dengan ibunya, sampai akhir juga begitu. Alina tidak bisa jatuh cinta dan menikah sampai akhir juga begitu. Aku pikir akan ada perubahan pada diri Alina dalam 206 halaman ceritanya. Ternyata nihil… Sempat sedikit bahagia saat Alina bilang bahwa ia mungkin jatuh cinta kepada Danu, tetapi akhir cerita itu justru memberi kenyataan pahit. Karakter Alina — sangat disayangkan — tidak dikembangkan oleh penulis. Juga karakter-karakter lain. Karakter Siti, karakter ibu Alina, karakter Farid, semuanya sama dari awal hingga akhir. Banyak kesempatan bagi penulis untuk mengembangkan karakter Alina. Alina kan sudah dewasa, masa penyelesaian masalah yang dia lakukan begitu-begitu saja? Konflik dengan ibunya, konflik dengan ayahnya, konflik dengan orang asing, bahkan konflik dengan dirinya sendiri masa tidak bisa ia selesaikan? Atau mungkin tidak mau ia selesaikan?

Cerita ini juga miskin sekali konflik. Oh! Atau banyak tapi tidak jelas. Tidak dimulai dan tidak diakhiri. Sebagai sebuah novel, 206 halaman dengan isi begini menurut aku sangat miskin plot. Melalui sinopsis konfliknya tersaji dengan jelas, tetapi tidak dengan isinya. Saking miskinnya, pembahasannya sampai ke mana-mana. Buat apa sih cerita Siti dan atasannya? Apa hubungannya coba dengan kisah Alina dan Danu yang ketemu di Bus? Kisah bapak Alina juga buat apa? Untuk membangun karakter Alina sebagai anak broken home? Ujung-ujungnya malah pindah rumah begitu saja karena hutang bapaknya. Buat apa juga flashback masa-masa dengan Tio? Katanya tidak jatuh cinta, katanya tidak punya perasaan lagi, tetapi sedikit-sedikit flashback. Huft, okelah kalau niatnya sekadar memberi tahu kalau pikiran manusia memang suka terlempar ke sana ke mari, tetapi setidaknya berikan alasan kenapa aku harus membaca kisah Tio-Alina yang bahkan tidak ada hubungannya dengan Danu-Alina, tidak juga dengan perkembangan karakter Alina — ya karena memang tidak berkembang. Cerita ini bisa dipadatkan dan akan sangat elok kalau saja berbentuk sebuah cerita pendek.

Meski miskin, aku akui buku ini memiliki kekayaannya tersendiri. Tahu betul banyak konflik yang ingin diangkat, sayangnya tidak tuntas. Mulai dari KDRT, marriage free, perselingkuhan, atau topik-topik kecil lain yang dimunculkan. Elok memang berusaha memperkaya topik begini, tetapi akan lebih elok kalau topiknya dibahas tuntas, tidak setengah-setengah, apalagi seperempat. Diksi atau pemilihan kata Rintik Sedu juga sudah oke, seperti biasa. Bahasanya ringan, tetapi tidak dangkal. Ceritanya juga terasa hidup karena banyak hal yang memang relate dengan kehdupan, menggambarkan betul keabstrakan hidup manusia dan manusia itu sendiri. Membaca buku ini seolah membaca buku diary manusia yang sedang mengikuti challenge menulis jurnal keseharian tiap 15 menit sebelum tidur selama 30 hari. Konflik yang diharapkan tidak dimunculkan secara gamblang, apalagi diselesaikan.

Pada akhirnya, dengan segala kurang lebihnya… Aku tidak merekomendasikan buku ini jika kalian pembaca buku yang haus akan plot, konflik, twist, dan perkembangan karakter yang gila-gilaan. Apalagi yang pemilih buku bacaan — pokoknya hanya mau baca buku yang risetnya mendalam, penyajiannya lengkap terpercaya seperti artikel jurnal — sebaiknya jangan mencoba buku ini atau kalian akan marah-marah. Namun, untuk kalian yang suka membaca buku sekadar sebagai refreshing, suka dengan konflik ringan, bahasa indah dan tersusun rapi, dan tidak menyita banyak waktu dan pikiran, buku ini patut dicoba. Apalagi untuk kamu yang suka sekali dengan realita kehidupan.

--

--

Senja Tarum
Senja Tarum

Written by Senja Tarum

Worth to write something worthy

No responses yet